Emosi anak usia dini masih SANGAT bergantung pada orang tuanya.
Beberapa hari ke belakang..
ketika anak kami merengek.. muka saya mengencang.
Saya kesal sekali mendengar suara rengekannya.
Saya beberapa kali berpikir : duh hal sesepele ini saja kok merengek sih?
Sampai akhirnya saya bilang padanya :
Ibu : ibu kesal.. ibu jadi pengen marah kalau K ngerengek pas mau minta
sesuatu.
Kalau mau minta ambilin mainan, kan bisa langsung bilang aja. Gak usah pakai merengek seperti ini.
Dan setelah saya berbicara seperti itu..
saya baru sadar..
biasanya anak kami jarang sekali merengek.
Namun.. ketika akhir-akhir ini saya sedang lelah karena tidur terlalu larut.. membuat batas toleransi saya sangat menipis.
Saya (tanpa sadar) jadi jauh lebih sering melarang & mengkritiknya.
Walau tidak dengan nada tinggi atau bentakan, namun tetap saja.. saya seperti tidak menerimanya apa adanya.
Yang membuatnya tak nyaman, dan semakin lama semakin meningkat rengekannya.
Bahkan untuk hal yang tidak pernah ia
permasalahkan sebelumnya. Seperti : memakai baju. Ia tidak pernah menolak sebelumnya. Namun akhir akhir ini, ia akan merengek kencang sebelum dipakaikan baju.
Dan semakin ia merengek, saya semakin kesal.
Dan kalau dibiarkan.. jadi akan merusak hubungan kami.
Ia tidak nyaman karena saya tidak menerimanya. Saya pun tidak nyaman karena merasa ia 'merengek terus'.
Saya mulai dengan tidak tidur larut malam. Sehingga dapat fit mendampinginya.
Lalu esok harinya :
Anak : * merengek*
Anak : ibu kesal? (sambil masih merengek dengan takut-takut)
Ibu : enggak.. ibu lagi nemenin K yang lagi kesal
Anak : *rengekan makin kencang, namun sudah tidak terlihat takut. Dan rengekan berhenti dengan cepat, dibandingkan sebelumnya*
Ia sebelumnya tidak pernah takut untuk melakukan sesuatu di samping saya.
Namun.. kali ini.. dia terlihat takut.. karena takut melihat muka saya yang berubah menjadi kesal, saat ia merengek.
Di situ.. saya merasa sedih. Bahwa selama beberapa hari terakhir.. saya tidak dapat menjadi sosok yang nyaman untuknya. Membuatnya takut untuk menjadi dirinya sendiri. Takut mengeluarkan emosi yang lahir dari dalam dirinya.
Namun.. sekaligus merasa lega..
karena 'tabungan' hubungan kami..
ia dapat mengomunikasikan apa yang ia rasakan (dengan menanyakan : ibu kesal?)
Sehingga.. jadi membuat kami lebih 'ngeh' atas apa yang ia pikirkan & rasakan. Dan dapat melakukan langkah untuk
memperbaiki hubungan.
Dan.. setelah saya mengatakan bahwa 'saya tidak kesal. Namun menemaninya yang sedang kesal'..
perlahan ia kembali seperti semula.
Tidak lagi merengek.
Sehingga benar adanya..
emosi anak usia dini masih SANGAT
bergantung pada orang tuanya.
Ketika kita merasa anak kita 'berulah' & nakal.. yang kita perlu cek terlebih dahulu adalah diri kitanya.
Apakah kita sedang baik-baik saja? Apakah kebutuhan dasar kita terpenuhi?
Karena kerap kali..
anak 'berulah'...
karena ingin mengomunikasikan sesuatu pada kita..
Entah ketidaknyamanannya, ketakutannya, kegelisahannya, kesedihannya, dst..
yang erat kaitannya dengan kita (misalnya: kelahiran adik baru dan anak merasa orang tua lebih sayang dengan adik baru, kematian binatang peliharaan namun orang tua sibuk sehingga tidak mendampinginya yang sedang sedih, dst).
Dan kita, yang sudah dewasa ini, yang perlu mengenali.. apa yang ingin ia sampaikan?
Tentu sulit. Namun jika kita tidak belajar, tentu akan lebih sulit untuk anak, yang masih amat bergantung pada kita, untuk belajar mengenal & meregulasi emosinya.