Satu hal yang saya tidak suka dari suami
Satu hal yang saya tidak suka dari suami adalah :
kelakuannya yang klemar-klemer.
Rasanya.. semua yang ia lakukan itu lamaaa sekali.
Saya kerap kali gemas.. seraya otak saya bertanya-tanya : 'bisa lebih cepat gak sih?'
Namun seiring berjalannya waktu..
saya menyadari.. bahwa ia bukan lambat, namun berpikir lebih matang.
Ketika ia melakukan sesuatu.. kerap memakan waktu lebih lama, namun hasilnya menakjubkan.
Sedangkan saya.. kerap kali buru-buru. Hasilnya cepat. Namun bolong di sana-sini. Akhirnya mesti buat dari awal lagi. Yang membuat waktu selesainya jadi lebih lama.
Dan pada akhirnya.. kami menjadi rem & gas bagi satu sama lain.
la menjadi rem.. agar saya bertindak lebih hati-hati & pikir panjang.
Saya menjadi gas.. menjadi daya dorong agar kami memulai sesuatu. Dan mengingatkan jika ia mulai melambat dari yang semestinya.
Sehingga.. kami bisa bekerjasama dengan baik. Termasuk dalam membuat buku.
Tentu hal yang sangat sulit & menantang untuk saya.
Apalagi.. saya dibesarkan dengan cara yang sama sekali berbeda.
Saya diajarkan.. (misalnya) jika menelepon seseorang dan tidak bisa, maka saya harus menelepon berulang- ulang kali sampai telepon tersebut diangkat. Saya harus berusaha terus. Tidak ada kata 'tidak bisa'.
Sehingga.. saya tidak memahami bahwa kadang kita perlu menunggu, dan mencoba beberapa saat lagi. Tidak perlu selalu berlari ke depan. Karena mungkin yang ditelepon sedang ada di kamar mandi, sedang menemui orang lain, sedang makan, dst.
Saya kesulitan memahami bahwa berjalan terus tidak menjamin kita pasti akan cepat sampai.
Kadang istirahat terlebih dahulu, membuat tubuh kita fit, dan berjalan jauh lebih cepat, dibandingkan
dipaksakan berjalan dalam keadaan lelah.
Sehingga.. bertemu & berinteraksi intens dengan suami (yang berkebalikan dengan bagaimana saya dibesarkan)..
tentu jadi sangat 'mengganggu'.
Namun membuat saya jadi berkontemplasi.. dan mencari jawab mengapa perilakunya sangat sulit saya tolerir.
Memahami 'mengapa'.. membuat saya lebih bisa menerima. Bahkan menyukai perilakunya, yang memang membuat hubungan kami bertumbuh (dan apa yang kami buat, termasuk buku, menjadi jauh lebih baik).
Dan ketika anak kami lahir..
tidak hanya mukanya yang sama persis dengan bapaknya.
Namun juga kelakuannya.
Dan.. karena saya sudah memahami masa lalu saya yang memengaruhi perilaku saya di masa kini.. membuat saya lebih mampu meregulasi diri.. dan justru menikmati perilaku anak kami yang (terkesan) klemar-klemar.
Ketika ia berlama-lama mengamati mobil dari berbagai sisi.. saya temani tanpa mendesak & mengiterupsinya (kecuali jika ada hal yang memang sangat perlu dikerjakan).
Dan proses itu.. membuatnya tahu berbagai merek mobil, bahkan jika mobil itu hanya ia lihat sekelebat atau sebagian kecilnya.
Hal yang kemungkinan besar tidak terjadi jika saya memburu-burunya, atau merasa yang ia lakukan tidak penting & buang-buang waktu.
Jadi.. memahami masa lalu kita..
bukan berarti karena kita tidak menyayangi & menghormati orang tua kita.
Padahal.. justru agar kita mendapatkan gambaran diri kita secara utuh.
Karena.. seperti apa diri kita sekarang.. memang tak luput dari apa yang terjadi di masa lalu (terutama usia dini kita).
Memahami masa lalu kita..
justru agar mencegah kita menorehkan luka di masa kini & masa depan kita.
Seperti jika saya tidak memahami bagaimana masa lalu membentuk saya yang ingin selalu buru-buru.. tentu bisa jadi saya sering marah-marah pada suami & anak yang (terlihat) lambat.
Namun dengan memahami.. kita dapat lebih memisahkan apa yang terjadi di masa lalu & masa kini. Sehingga.. kita dapat membangun pernikahan & pengasuhan yang lebih sehat.