Berbicara sesuai level anak.
Seseorang : “kalau anak gak bisa diomongin.. ya terpaksa pakai cara paksa. Cara yang lebih kasar
Habis dia bandel, ga nurut-nurut. Jadi ya mau gimana lagi.
Padahal.. ketika anak berulah..
Ia sedang berusaha mengomunikasikan sesuatu.
Kita (yang sudah lebih dewasa ini)
Yang perlu menangkap pesannya..
Dengan turun ke levelnya.
Bukan.. ia yang ‘dipaksa’ naik ke level kita
Dan saat ia tidak mengerti, kita label ia dengan ‘nakal, gak bisa dibilangin’.
Padahal.. memang BELUM kapasitasnya untuk mengerti.
Contohnya.. saat anak melempar-lempar barang..
Ketika kita berteriak meminta ia untuk berhenti, sambil melabelnya sebagai anak nakal.. dan ia tidak kunjung berhenti.
Kita gunakan cara lain agar ia nurut, yaitu memukulnya. Kita merasa itu patut dilakukan karena anak 'gak ngerti-ngerti kalau dibilangin'.
Mungkin itu membuatnya akan berhenti melempar barang, karena didorong rasa kaget, marah, atau takut.
Namun.. ia sekaligus tidak mengerti.
Mengapa ia yang sedang mengalami perasaan tidak menyenangkan (dan ia tidak tahu itu apa), bukannya dirangkul justru dihukum.
Membuatnya memendam perasaannya, tidak belajar untuk mengenali perasaan apa yang sedang ia rasakan.
Membuatnya.. merasa tidak memiliki tempat aman untuk menjadi dirinya.
Membuatnya bisa jadi akan melakukan hal serupa di kemudian hari (melempar barang), karena ia tidak belajar cara lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi perasan tidak enak di dalam dirinya.
Dan cara yang kasar.. tidak membuat anak benar-benar menurut.
Karena ia tidak mengerti mengapa ia tidak boleh melakukan perbuatan x y z, membuat motivasi di dalam diri tidak kuat (serta tidak memiliki tools untuk mengelola emosi), dan ia bisa jadi mengulang perilaku memukul lagi & lagi.
Namun.. jika kita berusaha turun ke levelnya.
Berusaha mengerti apa yang terjadi di dalam diri anak. Dan mencoba berbicara sesuai level anak.
Misalnya.. saat akan melempar, kita tahan tangannya, dan jauhkan dari benda-benda. Lalu kita peluk. Kota validasi (tadi kakak marah banget ya). Dan selanjutnya saat sudah tenang, kita ajak untuk berdiskusi & mengobrol (tadi kenapa kakak marah? Kira-kira apa yang akan kakak lakukan kalau terjadi lagi hal serupa dj kemudian hari?)
Sehingga anak merasa dihargai, dimengerti, dan dicintai apa adanya. Sehingga anak akan nyaman untuk datang di saat-saat sulitnya ke anak.
Sehingga.. anak punya tools pengelolaan emosi. Yang membuatnya tidak perlu 'berulah' untuk menyampaikan pesannya.